Refleksi atas Pola Kriminalisasi yang Mengkhawatirkan
Oleh: Richard Tommy Pantow S.Sos.,S H.,M.H.
Potretindonesiaterkini – Jakarta
Indonesia kembali mencatat satu episode kelam dalam penanganan sengketa tanah rakyat versus korporasi. Kali ini dari Kalimantan Tengah, di mana seorang petani harus merasakan dinginnya jeruji besi hanya karena mempertahankan tanah yang diklaim sebagai miliknya. Pola yang sama, berulang di berbagai daerah: rakyat kecil dikriminalisasi, sementara korporasi berlindung di balik izin dari pusat.
Fenomena ini bukan lagi anomali, melainkan pola sistemik yang mengkhawatirkan. Dari Sumatera hingga Papua, cerita serupa terus berulang dengan korban yang selalu sama: rakyat kecil yang berhadapan dengan mesin birokrasi dan kekuatan modal.

Tren Kriminalisasi yang Mengakar
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ratusan kasus sengketa tanah setiap tahunnya, dengan sebagian besar berujung pada kriminalisasi petani dan masyarakat adat.
Yang mengkhawatirkan, aparat keamanan seringkali lebih cepat menggunakan pasal pidana ketimbang memfasilitasi dialog dan mediasi.
“Ini adalah tren yang sangat mengkhawatirkan dalam sistem hukum kita, sengketa tanah yang hakikatnya adalah masalah perdata justru dikriminalisasi”.
Padahal dalam teori hukum, pidana harus menjadi ultimum remedium—upaya terakhir, bukan yang pertama.
Pola kriminalisasi ini mencerminkan lemahnya pemahaman penegak hukum terhadap asas subsidiaritas dalam hukum pidana.
“Ketika pasal pidana dijadikan senjata untuk menyelesaikan sengketa keperdataan, yang terjadi adalah distorsi terhadap fungsi hukum pidana itu sendiri,”
Lemahnya pemahaman aparat terhadap hierarki penyelesaian sengketa. Hukum pidana yang seharusnya menjadi ultimum remedium (upaya terakhir) justru dijadikan primum remedium (upaya pertama). Akibatnya, yang seharusnya menjadi sengketa perdata berubah menjadi perkara pidana dengan konsekuensi sosial yang jauh lebih berat.
Ketimpangan Struktural dalam Penegakan Hukum
Yang lebih ironis adalah ketimpangan perlakuan hukum yang sistemik. Ketika rakyat kecil melanggar batas tanah, borgol siap menanti. Namun ketika korporasi melakukan aktivitas di luar izin atau melanggar prosedur lingkungan, respons hukum jauh lebih lunak—mulai dari teguran administratif hingga denda yang bisa dianggap sebagai “biaya operasional.”
Fenomena ini mencerminkan apa yang oleh sosiolog hukum disebut sebagai “hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Rakyat kecil merasakan ganasnya jeratan hukum, sementara pelaku dengan kekuatan ekonomi dan politik mendapat perlakuan istimewa.
Proses yang Terdistorsi
Konsep due process of law—jaminan proses hukum yang adil—seringkali terdistorsi dalam penanganan sengketa tanah. Penangkapan dengan cara berlebihan, penahanan tanpa justifikasi yang memadai, dan kurangnya transparansi informasi menjadi ciri khas penanganan kasus-kasus serupa.
“Kasus-kasus sengketa tanah seperti ini menunjukkan bagaimana sistem hukum kita gagal menerapkan prinsip due process yang sebenarnya. Penangkapan dengan cara berlebihan tanpa mempertimbangkan proporsionalitas ancaman adalah pelanggaran terhadap hak konstitusional tersangka.”
Berdasarkan pengalaman menangani berbagai kasus sengketa tanah, cara penangkapan yang traumatis seperti ini justru kontraproduktif.
“Due process bukan hanya soal mengikuti prosedur formal KUHAP, tetapi juga menjamin keadilan substantif. Ketika anak-anak menjadi korban trauma akibat cara penegakan hukum yang tidak proporsional, di situlah negara telah gagal melindungi warga negaranya,”.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak psikologis pada keluarga, terutama anak-anak yang menjadi saksi cara-cara penegakan hukum yang tidak proporsional. Trauma kolektif ini menciptakan rasa takut dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara yang seharusnya melindungi mereka.

Objek Vital Nasional: Tameng atau Dalih?
Status “Objek Vital Nasional” seringkali menjadi justifikasi untuk melegitimasi tindakan represif terhadap masyarakat. Padahal, dalam negara hukum yang demokratis, kepentingan Nasional tidak boleh mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara.
“Status Objek Vital Nasional memang memberikan kewenangan khusus untuk pengamanan, namun ini tidak boleh menjadi carte blanche untuk mengabaikan due process. Dalam constitutional law, tidak ada kepentingan yang bersifat absolut. Semua harus diimbangi dengan perlindungan hak asasi manusia.”
Dalam kasus-kasus serupa, seringkali terjadi abuse of power di mana status khusus dijadikan alasan untuk melakukan tindakan yang sebenarnya melanggar prosedur hukum.
“Yang harus diingat, Pasal 28J UUD 1945 mengatur tentang pembatasan hak asasi. Pembatasan hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang dan harus proporsional,”.
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 secara tegas mengamankan hak milik yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang. Ketika terjadi benturan kepentingan, yang diperlukan adalah mekanisme yang berkeadilan, bukan penindasan sistemik terhadap pihak yang lemah.
Mediasi: Si Anak Tiri dalam Sistem Hukum Indonesia
Mediasi sebenarnya memiliki tradisi kuat dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mediasi. Namun dalam praktik penanganan sengketa tanah, mediasi seringkali menjadi formalitas belaka. Ketika mediasi “gagal,” yang muncul bukan upaya kreatif mencari solusi, melainkan borgol dan tahanan.
Lemahnya infrastruktur mediasi sengketa tanah tercermin dari minimnya lembaga khusus yang menangani konflik agraria. Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang seharusnya menjadi garda terdepan penyelesaian sengketa tanah justru lebih fokus pada administrasi sertifikat.
Reformasi Agraria yang Setengah Hati
Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah terkesan berjalan di tempat ketika berhadapan dengan realitas di lapangan. Redistribusi tanah masih jauh dari target, sementara konflik agraria terus meningkat. Ketimpangan penguasaan tanah—di mana segelintir korporasi menguasai jutaan hektare sementara jutaan petani tidak bertanah—tetap menjadi bom waktu sosial.
Yang lebih fundamental, reforma agraria memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya soal redistribusi fisik tanah, tetapi juga reformasi sistem hukum dan birokrasi yang mengatur tanah.
Dampak Sistemik yang Mengkhawatirkan
Pola kriminalisasi sengketa tanah ini menimbulkan dampak sistemik yang melampaui kasus individual:
Pertama, erosi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Masyarakat mulai memandang hukum sebagai alat penindasan, bukan perlindungan.
Kedua, meningkatnya ketegangan sosial di daerah-daerah dengan sengketa tanah aktif. Kriminalisasi justru memperparah konflik, bukan menyelesaikannya.
Ketiga, hambatan terhadap investasi jangka panjang. Ketidakpastian hukum atas tanah membuat investor genuine enggan masuk, sementara spekulan dan rent-seeker justru diuntungkan.
Keempat, kemunduran dalam penegakan HAM. Indonesia yang secara internasional berkomitmen pada perlindungan HAM justru mundur dalam praktik di lapangan.
Agenda Reformasi yang Mendesak
Mengatasi krisis ini memerlukan reformasi menyeluruh dalam beberapa aspek:
Reformasi Regulasi: Perlunya regulasi khusus yang mengatur penyelesaian sengketa tanah dengan mengutamakan mediasi dan pendekatan restoratif, bukan represif.
“Kita memerlukan omnibus law khusus untuk sengketa agraria yang mengintegrasikan berbagai peraturan yang saat ini tersebar dan saling tumpang tindih. Regulasi ini harus dengan tegas mengatur bahwa mediasi adalah tahap wajib sebelum upaya hukum lainnya, termasuk pidana.”
Reformasi Institusional: Pembentukan lembaga khusus penyelesaian sengketa tanah yang independen, dengan kewenangan mediasi yang kuat dan dukungan infrastruktur yang memadai. Lembaga ini harus memiliki kewenangan quasi-judicial yang kuat.
“Seperti halnya KPPU untuk persaingan usaha atau KPAI untuk perlindungan anak, kita butuh lembaga khusus yang fokus menangani sengketa agraria dengan pendekatan yang holistik,”.
Reformasi Budaya Hukum: Pelatihan masif bagi aparat penegak hukum tentang penanganan sengketa tanah yang berkeadilan, dengan penekanan pada prinsip proporsionalitas dan due process.
Reformasi Kebijakan: Moratorium izin-izin baru yang potensi konflik dengan hak masyarakat sampai sistem penyelesaian sengketa diperbaiki.
Menuju Keadilan Agraria
Indonesia berada di persimpangan jalan. Pilihan pertama adalah melanjutkan pola lama yang mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan modal besar. Pilihan kedua adalah melakukan reformasi fundamental untuk menciptakan sistem agraria yang berkeadilan.
Sejarah mencatat bahwa stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin terwujud dalam masyarakat yang adil. Ketimpangan struktural dalam penguasaan dan pengelolaan tanah akan terus menjadi sumber konflik jika tidak diatasi secara serius.
Keadilan agraria bukan hanya tentang tanah, tetapi tentang masa depan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Tangis anak-anak petani yang kehilangan ayah karena mempertahankan haknya adalah alarm yang tidak boleh diabaikan lagi.
Sudah saatnya Indonesia memilih: melanjutkan warisan kolonial dalam pengelolaan tanah, atau berani melakukan lompatan peradaban menuju keadilan agraria yang sesungguhnya.
Tentang Penulis
Richard Tommy Pantow
Managing Partner Kantor Hukum Mr. Richard & Partners