Diskusi Publik Pewarna Indonesia Menyoal Gubernur Jabar Kirim Siswa “Nakal” Ke Barak Militer

Potretindonesiaterkini Jakarta

Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) Indonesia bersama Elemen Masyarakat dan Umat hari Kamis (5/6)bertempat di Pujasera lantai 3 Tower 3 Pasar Rumput, Jakarta Selatan, menggelar diskusi publik mengangkat topik : “Disiplin Ala Militer untuk Anak Nakal: Solusi atau Pelanggaran Hak?”

Diskusi dipandu oleh Ashiong Munthe, Litbang Pewarna Indonesia. Menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang yaitu Pdt. Dr. Jeffri Lilobomba, MA., M.Th. – akademisi/Dosen STT IKAT, Lovely Bintaro – founder Akademi Suluh Keluarga, Pdt. Harsanto Adi S., M.M., M.Th. – Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API), Oloan M. Manik, S.H., M.H., CLA. – penasehat hukum Pewarna Indonesia, August Hamonangan, S.H., M.H. – anggota DPRD DKI Jakarta, Fraksi PSI.

Peran Negara

Grollus Daniel, Kordinator Diskusi Publik Pewarna Indonesia menjelaskan latar belakang digelarnya diskusi publik ini.

Menurutnya banyak cara mendisiplinkan anak, terutama remaja.”Dalam kondisi saat ini dimana tingkat kenakalan remaja dan ketidak sanggupan orang tua mendisiplinkan anaknya, negara dapat melakukan perannya”, cetus Grollus.

Lanjut Grollus pendidikan pola militer yang di lakukan gubernur Jawa Barat memang tidak biasa diterapkan di negeri ini. Namun, paling tidak, negara hadir untuk membantu untuk mendisiplinkan anak.
Walaupun ada yang tidak setuju dengan pola militer untuk mendisiplinkan anak, itu merupakan hal biasa.

“Hak anak mungkin ada yang dikurangi, namun tidak menghilangkan hak anak sepenuhnya.Karena setiap individu sudah sepatutnya memiliki tanggung jawab, termasuk anak/ remaja atas setiap tingkat perlakuan,” jelas Grollus.

Grollus Daniel sebagai Pengurus Pusat Departemen OKK (Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan) Pewarna Indonesia merasa penting diskusi publik digelar dalam menemukan solusi terbaik.

Pdt. Jefrie : “Anak Nakal” atau “Anak Terluka”?

Pdt. Jeffri Lilobomba membuka pembicaraan dengan mengajak hadirin merenungkan kembali makna kenakalan. “Jangan buru-buru menyebut anak itu nakal. Kadang mereka hanya terluka, bingung, dan tidak tahu cara bicara selain lewat perilaku. Apa kita tega membalas kebingungan itu dengan hukuman seperti di militer?” tuturnya.

Ia menekankan bahwa disiplin bukan berarti kekerasan. Ada cara lain yang lebih membangun: dialog, bimbingan, dan teladan.

Lovely: “Orang Tua Harus Hadir, Bukan Sekadar Menghukum”

Lovely Bintaro menyampaikan pengalaman nyata dari komunitas keluarga yang ia dampingi. “Banyak orang tua ingin menyerahkan anak mereka ke tempat pelatihan keras karena merasa sudah tak sanggup. Tapi pertanyaannya: apakah kita pernah benar-benar hadir, mendengarkan, merangkul anak itu?” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Peserta diskusi publik Pewarna Indonesia

Ia menambahkan, keluarga bukan tempat penghakiman, tetapi ruang aman bagi anak mengenal dirinya dan dunia. Disiplin tanpa cinta akan menciptakan generasi penuh dendam.

Pendeta Harsanto Adi : “Gereja Harus Merangkul, Bukan Menghakimi”

Dari sisi rohani, Pdt. Harsanto Adi S. menegaskan bahwa gereja tidak boleh diam. “Yesus tidak pernah menyerahkan anak-anak pada barak militer. Ia duduk bersama mereka, memberkati mereka. Tugas kita bukan menghakimi, tapi mendampingi,” ujarnya.

Ia mengajak gereja membuka ruang pembinaan karakter, konseling keluarga, dan program dukungan untuk anak-anak yang terpinggirkan.

Oloan: “Disiplin Harus Legal dan Bermartabat”

Oloan Manik, dari sisi hukum, menyampaikan keprihatinannya atas banyaknya tempat pembinaan berbasis disiplin militer yang beroperasi tanpa legalitas jelas. “Kita harus tegas: jika pembinaan mengandung kekerasan, maka itu pelanggaran hukum. Anak-anak punya hak dilindungi, bukan dipecundangi,” katanya.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dan negara untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang adil dan beradab.

August Politisi PSI : “Jakarta Punya Cara yang Lebih Manusiawi”

Sebagai legislator daerah, August Hamonangan menolak pendekatan militer untuk anak-anak di Jakarta. “Kita bukan kekurangan ruang. Jakarta punya taman, rusun ramah anak, DPT-APP yang aktif, dan sistem pengaduan. Kita hanya perlu lebih peduli,” ujarnya.

Ia bahkan menyebut Kelurahan Cikoko di Jakarta Selatan yang sudah ditetapkan sebagai kelurahan ramah anak. “Kalau benar Jakarta adalah kota ramah anak, mengapa anak-anak masih dibawa ke tempat pelatihan keras? Bukankah itu kemunduran?” ucapnya penuh tanya.

August menegaskan bahwa kenakalan remaja bukanlah alasan untuk menyerah. “Mereka butuh kasih, bukan hanya perintah baris-berbaris. Mereka butuh didengarkan, bukan dibentak.”, tandasnya.

Sumber : Reportase Pewarna Indonesia
Editor : Endharmoko

Berita Lainnya