Bagian Kedua
Penulis : Padmono
Derita yang paling dalam telah dialami Megawati. Ketika bapaknya ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) terisolir dari dunia, Megawati tidak bisa menemui. Biasanya anak perempuan paling bisa menemani bapaknya yang sedang dalam kesendirian dan dalam keadaan sakit. Itu merupakan kebanggaan keduanya, ayah dan anak perempuannya. Tetapi alih-alih menemani, menemui pun ia tidak bisa. Padahal waktu itu Bung Karno dalam keadaan sakit parah. Sementara ia sendiri dan saudara-saudaranya tidak bisa bebas bergerak. Selalu diawasi, dan dijaga oleh tentara penguasa. Tidak memiliki kebebasan. Tak seorang pun dapat merasakan derita batin yang seperti itu! Hanya bisa membayangkan. Itupun kalau orang tersebut masih memiliki hati nurani dan tidak kehilangan akalnya.
Tetapi semua itu dapat dilewatinya. Megawati melalui penderitaan yang berlarat-larat untuk meraih jabatan Ketua Umum PDIP. Ketika masanya tiba, reformasi berlangsung, partainya berkibar. Orang yang dulu berteriak-teriak “turunkan Sukarno” atau mencaci maki, memfitnah dan lain-lain, berdatangan ke Megawati. Mereka ditampung di partai berlambang banteng moncong putih. Berjuang bersama di sana membenahi negeri ini. Mereka yang dikejar-kejar penguasa masa lalu bersembunyi di sana dan baru muncul ketika semuanya aman. Megawati menjaga semuanya. Memberikan perlindungan sekaligus memberikan apa yang mereka mau.
Kebanyakan ingin menjadi anggota DPR. Yah itu yang terjadi dan diberikan oleh Megawati.
Ketika seorang anak muda datang ke partainya dan melalui perkoncoan dengan pengurus PDIP di daerah, Megawati pun menerimanya tanpa menyeleksi karena ia percaya aparat partai di daerah dapat dipercaya. Maka muncullah seseorang dengan seragam baju hitam celana hitam dengan baret merah, bagian dari satuan tugas pengaman, orang yang bernama Joko Widodo.
Yang paling mengenal dia adalah FX Rudyatma, karena ia adalah Ketua DPC PDIP Kodya Surakarta.
Satgas itu mengawal Megawati ketika ia berkunjung ke kota itu. Dengan seragamnya hitam-hitam dan baret merah di kepala mengikuti Ketua Umum Partai sebagai petugas pengamanan. Megawati tentu tidak tahu banyak tentang orang itu. Baru ketika ada desakan dari bawah untuk memberi rekomendasi kepada satgas itu maju sebagai calon walikota Solo, baru Megawati berusaha mengenalnya. Kata orang-orang di “bawah”, dia baik.
Megawati meluluskan permintaan itu. Terpilihlah satgas itu menjadi walikota. Bahkan dua periode. Tetapi periode kedua ada desakan lagi supaya walikota bekas satgas itu dicalonkan menjadi gubernur DKI Jakarta. Megawati masih mikir. Dan itu terlihat ketika Megawati tidak langsung mengiyakan. Sampai desakan tersebut terus menguat. Baru kemudian diluluskan. Jadilah dia Gubernur DKI Jakarta.
Belum genap lima tahun menjadi Gubernur, Megawati didesak lagi untuk mencalonkan gubernur bekas satgas itu sebagai calon presiden. Seperti sebelumnya Megawati tidak langsung mengiyakan. Desakan terus datang. Kata orang, dia orang baik. Karena desakan yang bertubi-tubi Megawati kembali meloloskan dan jadilah gubernur bekas satgas itu menjadi presiden!
Nah, dari kasus itu nampak jelas bahwa Ketua Umum PDIP Megawati memberikan rekomendasi dan partainya mencalonkannya sebagai presiden karena desakan dari bawah. Bukan keputusan dari partai yang kemudian dimintakan persetujuan dari bawah. Di situ nampak ada sesuatu yang disimpan oleh Megawati, apakah orang tersebut dapat melaksanakan amanah partai? Sebab partai yang dipimpinnya memiliki visi dan misi yang jelas dan tegas: mempertahankan NKRI sebagai negara kesatuan berdasakan Pancasila. NKRI adalah negara bangsa yang berbhineka tunggal ika dan demokratis.
NKRI bukan kerajaan yang rakyatnya hanyalah kawula, atau hamba sahaya. Rakyat Indonesia sama kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan. Itu amanah dari para pendiri bangsa yang harus terus ditegakkan!
Megawati akhirnya meluluskan keinginan banyak orang untuk mencalonkan gubernur bekas satgas partai itu menjadi calon presiden. Terpilih! Maka tugas partai adalah terus memoles dan menutupi kekurangannya. Presiden bekas satgas partai itu disanjung-sanjung oleh banyak orang. Maka Megawati pun lalu mengatakan bahwa ia adalah petugas partai!
Banyak orang terkesima dan memaki-maki, tidak setuju dengan istilah “petugas partai”. Saya dulu termasuk orang yang tidak setuju dan ikut mencibir ketika mendengar istilah itu. Tetapi dalam perjalanan saya berpikir dan mencoba menganalisisnya. Ternyata benar, seorang presiden adalah petugas partai! Itu Dasarnya adalah undang-undang. Pasal 8 UU Pemilihan Presiden menyatakan, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”.
Dari pasal itu jelas bahwa seseorang tidak akan bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden dari perorangan. Seberapapun hebatnya, seberapapun kayanya seseorang, tidak akan pernah bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden tanpa partai!
Implikasi dari pasal itu adalah, seseorang yang menjadi presiden harus berada dalam koridor visi dan misi partai dan menjalankan semuanya sesuai visi dan misi. Itu artinya presiden adalah petugas partai. Sebab undang-undang partai politik pun mewajibkan partai untuk memilih suara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Karena untuk maju menjadi calon presiden tidak bisa perorangan dan harus melalui partai politik itulah di tahun 2000-an Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan kawan-kawannya berinisiatif mendirikan partai. Itu sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Itu juga yang disadari oleh presiden bekas satgas partai. Anak dan mantunya dimintakan rekomendasi dari partai untuk menjadi calon walikota. Mereka minta ke PDIP karena tahu itu partai besar dengan pemilih yang besar dan memiliki perangkat yang sangat lengkap hingga ke desa-desa. Jadi salah kalau orang mengatakan bahwa presiden bekas satgas dan akan-anaknya itu yang membesarkan partai, atau dengan kata lain besarnya partai itu karena mereka.
SALAH BESAR! Itu cara berpikir keblinger yang tidak paham akan perpolitikan bangsa ini. Mereka menjadi orang karena partai! Megawati memberikan anak dan mantu presiden bekas satgas itu karena menyayangi mereka dan memanjakannya. Walaupun sebenarnya pengurus partai di tingkat bawah tidak setuju dengan rekomendasi itu karena memang belum memenuhi syarat dan tidak layak, tetapi Megawati dan jajarannya memang sedang memanjakannya. Kenapa memanjakannya? Karena memang tidak mungkin mengecewakan Petugas Partai! Jajaran partai menghendaki para petugas partai itu membawakan amanah partai dengan benar, visi dan misi yang telah digarisakan oleh para pendiri bangsa!
Berdasarkan pasal-pasal dalam undang-undang di atas calon presiden yang diusung oleh partai, ketika sudah menjabat sebagai presiden, tidak bisa membawa visi dan misinya sendiri. Sayangnya dalam periode kedua bekas satgas itu semakin kelihatan sama sekali tidak memiliki visi dan sepertinya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan visi dan misi.
Saya pernah menulis tentang hal ini dan saya katakan bahwa presiden bekas satgas itu hanya TUKANG PRESIDEN, seorang yang menjabat sebagai presiden tetapi pola pikir, sikap dan perilakunya hanya berkualifikasi seorang tukang.
Ia sekadar tukang! Sekelas tukang mebel atau tukang kayu. Tetapi ketika dikatakan bahwa sebagai petugas partai ia marah dan ia tunjukkan sifatnya yang asli, serakah akan jabatan.
Semua ditabraknya. Ia bawa anak-anaknya pergi dari partai yang telah melahirkan dan membesarkannya. Tanpa pamit tanpa berkata babibu ia tabrak semuanya. Bahkan anak dan menantu yang seharusnya belum layak mendapatkan rekomendasi karena belum 1 tahun menjadi anggota partai, tetapi karena kemurahan Megawati bisa dicalonkan dan didukung menjadi walikota. Lalu hanya karena tidak paham mengenai sebutan patugas partai dan ingin menjadi yang nomor satu, tanpa etika ia tinggalkan semuanya. Dan itu diikuti oleh orang-orang yang tadinya berlindung dan mencari aman di partai.
Banyak orang mengikutinya karena mempunyai sifat dan karakter yang sama: serakah! Ingin mencari kemuliaan diri dengan jabatan atau uang. Saya bepikir orang-orang seperti itu berdasar lintah dan dagingnya terbuat dari tanah kuburan. Lintah itu tidak pernah puas mengisap darah manusia dan tanah kuburan itu tidak pernah puas atau kenyang menerima orang mati.
Siapakah yang tidak marah menghadapi orang-orang yang seperti itu? Orang-orang beradab yang berakal sehat dan masih memiliki etika tentu akan marah. Bayangkan itu terjadi dalam keluarga anda. Untuk merasakan secara dalam, anda boleh menutup mata dan membayangkannya. Ada anak jalanan yang tidak tahu apa-apa dibawa ke rumah, lalu anda anggap sebagai bagian dari keluarga. Ketika ada kesempatan untuk menjadi pejabat, orang itu meminta anda dan seluruh keluarga mendukungnya.
Setelah menjadi pejabat Anda memanjakannya, semua kekurangannya ditutupi dan keluarga anda menjadi bamper yang melawan siapapun yang akan mengganggunya sebagai pejabat. Lalu anak-anaknya pun dimanja, anak yang masih ingusan tidak tahu apa-apa dimintakan rekomendasi untuk mendapat jabatan. Itupun dituruti karena seluruh anggota keluarga menyayanginya. Tiba-tiba mereka minggat tanpa pamit bahkan berseberangan, melawan keluarga anda, mempecundangi keluarga anda dan dengan segala upaya menghancurkan keluarga anda. Apa yang anda lakukan? Bingung? Marah? Atau anda akan tiba-tiba mengubah diri menjadi malaikat makhluk langit yang bisa menerima keadaan dan bahkan mengacungkan jempol, berpestapora di langit karena tindakan yang seperti itu? Omong kosong!
Siapapun orang yang beradab, berbudi pekerti dan berakal sehat, yang mengerti etika, tahu sopan santun, unggah-ungguh, dan sebagainya tentu akan marah! Paling tidak akan mengatakan, “orang tidak tahu diri, tidak berakhlak, tidak beretika, tidak beradab”. Dan barangkali juga orang itu akan menjawab, etika ndasmu!
Megawati pun marah. Sangat wajar! Bukan hanya Megawai yang marah, tetapi banyak orang. Tidak hanya orang-orang PDIP tetapi juga orang yang masih mengerti dan paham akan budi pekerti, masih memiliki hati nurani, dan akal sehat. Tatanan negara yang dibangun oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa ini, dan terus dibangun oleh seluruh bangsa selama 79 tahun ditabrak dan dihancurkan hanya dalam waktu beberapa hari. Karena apa? Karena syahwat kekuasaan dan kebodohan! Ternyata waktu yang terus berjalan membuktikan banyak hal tentang itu.
Sedikit demi sedikit terkuak kebohongan-kebohongan dan kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Menyaksikan semua itu tentu yang paling terluka adalah Megawati. Yah, pengkhianatan yang dulu dialami oleh bapaknya kini menimpa dirinya. Siapa yang dapat menolongnya? Tidak ada dan Megawati tidak membutuhkan pertolongan. Kalau ingin menolong, tolonglah negeri ini yang telah dikoyak oleh kezaliman. Biarkan Megawati menjalani hidupnya yang penuh penderitaan karena tidak seorangpun yang dapat merasakannya. Hanya dapat berempati! Namun ia akan berjalan dengan tegar dalam belaian arwah Bung Karno, ayahnya dari langit. Dan bangsa ini harus kembali menjadi bangsa yang berakal, berbudi pekerti, beretika, dan beradab. Sila kedua berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Orang-orang yang bersorak sorai ketika menyaksikan orang lain menderita adalah orang-orang yang tidak beradab. Adakah orang yang seperti itu? Ada, bahkan banyak! Mereka itu lintah dan tanah kuburan.
Salam cerdas, salam perjuangan!
Tentang Penulis
Padmono Sastrokasmojo, lahir di Solo 19 Juni 1953. Tamat dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta tahun 1978. Sejak Mahasiswa sudah gemar menulis. Tahun 1977 karyanya berupa naskah drama anak-anak berjudul SUARA TANGIS DARI GARDU diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia. Tahun 1979 menjadi wartawan SINAR HARAPAN (SH) hingga koran itu dicabut SIUPPnya tahun 1986. Di Sinar Harapan Minggu, Ia menulis cerita menarik dengan tokohnya Karto Dlongop. Selepas dari SH, Ia menjadi penulis freelance. Bukunya TEKNIK JURNALISTIK diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia tahun 1990 dan mengalami tiga kali cetak ulang.
Novelnya berjudul SURIP dan BIOLA BAPAKNYA dimuat di harian SINAR HARAPAN yang terbit tahun 2000. Novel lainnya pun sudah terbit. DUNIA KARTINI (2006), NYEWU, MAMPIR NGOMBE dan NYADRAN. Sudah terbit berturut turut sebagai trilogi yang berbasis budaya Jawa (2023). ASMARA DIBALIK.NUSANTARA yang mengisahkan percintaan Tribuana Tunggadewi dan mahapatih Gajahmada (2023) lalu trilogi BABAD NGORO, BABAD BONDO dan BABAD KARANGJOSO (2024) yang mengisahkan penginjilan pribumi di Jawa Timur, sekitar Muria dan Bagelen – Purworejo.