Para Tokoh Desak Pengesahan RUU Perampasan Aset, Soroti Komitmen Partai Politik.

Potretindonesiaterkini – JAKARTA

Sejumlah tokoh dari berbagai organisasi keagamaan dan kepemudaan menyuarakan desakan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana segera dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Macetnya RUU Perampasan Aset Koruptor” yang digelar secara daring pada Minggu (21/9), yang dipandu oleh Ashiong P. Munthe. Para narasumber sepakat bahwa RUU ini krusial untuk menyelamatkan keuangan negara dan memberikan efek jera, namun terhambat oleh kurangnya kemauan politik (political will) yang nyata, terutama dari partai politik.

Dialog ini menghadirkan Sahat Martin Sinurat (Ketua Umum PP GAMKI), Dr. Djasermen Purba (Ketua Umum MUKI), Pdt. Dr. Japarlin Marbun (Ketua Umum BAMAGNAS), Pdt. Harsanto Adi (Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia), dan Albert Siagian (Pengamat Sosial Politik).

Ketua Umum PP GAMKI, Sahat Martin Sinurat, mengawali diskusi dengan memaparkan sejarah panjang RUU Perampasan Aset yang telah digagas sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, meski Presiden Joko Widodo telah berulang kali mengirimkan Surat Presiden (Surpres) agar RUU ini dibahas, DPR tidak kunjung menindaklanjutinya hingga akhir masa jabatan.

“Gagasan ini sudah ada sejak lama, masuk prolegnas, dan terus didorong pemerintah. Namun, hingga akhir pemerintahan Presiden Jokowi, RUU ini tidak kunjung dibahas dan diputuskan oleh DPR RI,” ujar Sahat.

Harapan baru muncul setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan RUU ini, yang disambut positif oleh DPR. Namun, Sahat menekankan bahwa kunci utamanya ada pada partai politik.

“Kita bisa mendesak pemerintah dan DPR, tapi kalau partai politik tidak punya spirit yang sama, tidak akan ada gunanya. Para pejabat eksekutif dan legislatif dari pusat hingga daerah berasal dari partai politik. Pertanyaannya, apakah pimpinan partai sudah memberikan perintah kepada anggotanya di Senayan untuk memutuskan undang-undang ini?” tegasnya.

Sahat juga menyoroti tiga esensi penting RUU ini, yaitu Penyitaan Aset Pra-Vonis: Negara dapat menyita aset yang diduga hasil korupsi sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) untuk mencegah pelaku menyembunyikan atau memindahkan asetnya.

Menjangkau Pelaku yang Tidak Bisa Diadili: RUU ini memungkinkan perampasan aset dari tersangka yang meninggal dunia, melarikan diri (DPO), atau tidak dapat diadili karena alasan lain.

Pengawasan Ketat: Perlu ada batasan yang jelas dan lembaga pengawas yang transparan agar UU ini tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.

Ia menutup paparannya dengan seruan agar lembaga keagamaan tidak hanya bersuara keluar, tetapi juga melakukan introspeksi untuk memberantas praktik koruptif di lingkungan internal.

Dr. Djasermen Purba: “Kawal Prolegnas 2025, Hubungi Fraksi-Fraksi”

Ketua Umum MUKI, Dr. Djasermen Purba, menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset adalah regulasi vital untuk mempercepat pemulihan kerugian negara dan memperkuat sistem hukum nasional. Ia mengingatkan bahwa RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

“Dengan masuknya RUU ini sebagai prioritas, artinya harus disahkan selambat-lambatnya akhir tahun 2025. Tugas kita bersama adalah mengawal agar target ini tidak terlewat,” kata Djasermen, yang juga merupakan mantan anggota DPD RI.‰

Menurutnya, langkah konkret yang harus dilakukan masyarakat sipil adalah mendekati dan berkolaborasi dengan fraksi-fraksi di DPR.

“Kita harus mendampingi fraksi-fraksi yang ada. Kami dari MUKI akan mencoba menghubungi fraksi yang kami kenal untuk mendorong percepatan ini. Ini bukan hanya ucapan, tapi harus ada tindakan nyata,” serunya.

Ia juga menekankan pentingnya harmonisasi RUU ini dengan peraturan perundang-undangan lain seperti KUHP dan UU Tipikor, serta memastikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dalam proses perampasan aset.

Pdt. Dr. Japarlin Marbun: “Bentuk Kaukus Kebangsaan untuk Tekanan Bersama”

Senada dengan pembicara lainnya, Ketua Umum BAMAGNAS, Pdt. Dr. Japarlin Marbun, menyatakan dukungan penuh terhadap pengesahan RUU ini. Menurutnya, uang hasil korupsi harus bisa diambil kembali untuk sebesar-besarnya pembangunan bangsa.

“Bagi kita orang Kristen, semangat ini sejalan dengan apa yang dikatakan Zakheus, yang bersedia mengembalikan apa yang ia rampas. UU ini akan mempermudah pemerintah dan aparat melakukan hal serupa,” jelasnya.

Menanggapi adanya kesan keengganan dari beberapa fraksi di DPR, Japarlin mengusulkan sebuah gerakan bersama yang lebih terorganisir. Ia merasa upaya yang dilakukan secara parsial oleh masing-masing organisasi kurang memberikan dampak signifikan.

“Jangan kita bergerak sendiri-sendiri. Bila perlu, kita bentuk semacam Kaukus Cinta Bangsa yang merupakan perpaduan dari berbagai ormas. Dengan bergerak bersama, kita bisa memberikan tekanan yang lebih kuat agar kemacetan pembahasan RUU ini bisa segera teratasi,” usulnya.

Ia menambahkan bahwa BAMAGNAS telah menjalin komunikasi dengan sejumlah anggota DPR, namun mengakui bahwa dorongan kolektif akan jauh lebih efektif.

Pdt. Harsanto Adi & Albert Siagian: Soroti Peran Gereja dan Kendala Teknis

Pdt. Harsanto Adi dari Asosiasi Pendeta Indonesia menambahkan perspektif dari peran gereja. Menurutnya, gereja harus menjadi “rahim” yang melahirkan politisi, pejabat, dan pengusaha yang memiliki rasa takut akan Tuhan dan bekerja sesuai firman-Nya. Di sisi teknis, ia menekankan pentingnya proses perampasan aset yang adil dan transparan, serta mengusulkan pembentukan badan pengelola aset terpadu yang independen dari KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian.

Sementara itu, Pengamat Sosial Politik Albert Siagian menyoroti dua kendala utama yang belum tuntas. Pertama, belum adanya kesepakatan final di internal pemerintah, yakni antar kementerian dan lembaga terkait, mengenai naskah akademik RUU. Kedua, belum tercapainya komitmen politik dan kata sepakat di antara fraksi-fraksi partai politik di DPR.

“Apa yang diperjuangkan rakyat sejak 2003 masih jauh. Tanpa ada kesepakatan di tingkat pemerintah dan komitmen dari partai-partai di DPR, nasib RUU ini masih belum jelas,” pungkas Albert.

Sebagai moderator dalam dialog kebangsaan, Ashiong P. Munthe menutup rangkaian diskusi dengan menyampaikan kesimpulan yang merangkum pandangan para narasumber. Ia menegaskan bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor adalah kebutuhan mendesak yang harus segera ditindaklanjuti oleh DPR RI tanpa penundaan, sebab regulasi ini akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, mempercepat pemulihan kerugian negara, serta menutup celah bagi para koruptor untuk menyembunyikan atau memindahkan aset hasil kejahatan. Karena itu, seluruh partai politik didesak agar memberikan instruksi jelas kepada kadernya di parlemen untuk fokus, serius, dan konsisten dalam mengawal serta mengesahkan RUU ini.

Lebih lanjut, Ashiong menekankan pentingnya kaderisasi nyata dalam tubuh organisasi, lembaga masyarakat, maupun gereja, yang berorientasi pada pembentukan pribadi berintegritas, jujur, dan berani melawan korupsi. Ia menegaskan bahwa umat Kristen harus mengedepankan integritas hidup benar, sehingga saat dipercaya masuk ke dalam sistem politik dan pemerintahan, mereka tidak terjebak dalam praktik koruptif, melainkan menjadi teladan yang membawa perubahan bagi bangsa.

Dilaporkan oleh APM

Editor : Endharmoko

Berita Lainnya